Perpecahan dalam tubuh
partai bak penyakit menular yang susah dihalau, pasca perpecahan di tubuh
partai persatuan pembangunan (PPP), kini perpecahan pun mendera dalam tubuh
partai golkar. Kasus terbelahnya kedua partai ini embrionya sama yakni koalisi
KMP dan KIH.
Partai golkar yang
sejatinya memiliki pengalaman yang mumpuni dalam berpolitik, ketika pasca
gelaran pemilu dan pilpres biasanya selalu solid dan merapatkan barisan
kembali, namun kini berbeda keadaan. Proses pilpres telah usai namun perpecahan
di partai ini justru baru dimulai. Golkar yang memang piawai dalam bermain
politik dua kaki alias pecah pangung, nampaknya kini serasa tak berdaya untuk
dipersatukan kembali dalam sebuah tujuan bersama membangun bangsa. Ambisi
kekuasaan masing-masing kubu menarik katub bersebrangan dan semakin menjauh. Ya
memang katub ini sangat berpengaruh, karena ada banyak kepentingan berada
didalamnya. Selain kepentingan kekuasaan apa lagi?
Golkar yang sedari awal
spesialis berada pada barisan pemerintahan, kini nampaknya telah memilih
jalannya sendiri. Golkar lebih nyaman menjadi partai oposisi merapatkan barisan
bersama koalisi merah putih (KMP) yang dihuni oleh Gerindra, PKS, PAN. Pilihan
pahit bagi golkar ini tidak serta merta membuat politisi golkar menjadi solid,
namun sebaliknya justru menjadi terbelah, karena kubu satunya lagi melangengkan
tradisi berada didalam pemerintah.
Pada titik ini, saya
sebetulnya bangga terhadap partai golkar yang telah berani berada diluar
pemerintahan untuk menjadi penyeimbang. Sebagai partai yang besar, memang
seharusnya sekali-kali merasakan situasi diluar kekuasaan, dan dalam lima tahun
kedepan berada dalam garda terdepan melakukan control terhadap kinerja
pemerintah. Pilihan untuk berada diluar kekuasaan ini sejatinya jika kita
pahami sebagai dinamika politik sebetulnya baik bagi masa depan golkar.
Setidaknya golkar tidak kembali di cap sebagai pragmatisme politik semata. Dan
bahkan, jika golkar mampu konsisten berada diluar kekuasaan, dan bermain
sebagai oposisi secara baik, bukan tidak mungkin tingkat elektabilitas partai
ini akan semakin membaik pada masa yang akan datang.
Cap orde baru yang
selalu melekat dalam tubuh partai golkar akan menjadi semakin pudar, dan golkar
harusnya mampu melakukan transformasi politik demi sebuah masa depan bangsa
yang baik, dan maju. Pilihan untuk berada diluar kekuasaan dan menjadi partai
penyeimbang, harusnya menjadi jalan untuk melakukan transformasi keorganisasian
sekaligus re-branding partai untuk mendapatkan kepercayaan publik kembali.
Jika saya amati, ada dua
trobosan yang menarik yang dilakukan oleh partai golkar semenjak reformasi.
Pertama, ketika tahun 2004 pilpres dilaksanakan, partai golkar mengagas adanya
konvensi secara terbuka, yang digagas oleh akbar tanjung untuk menjaring calon
presiden, dan kedua, adalah tahun ini yang telah memastikan jalannya untuk
memastikan diri untuk berada diluar kekuasaan atau menjadi oposisi.
Dibalik sebuah konflik
yang terjadi, saya berkeyakinan akan muncul sebuah pembaharuan yang pastinya
akan membuat sebuah organisasi menjadi lebih baik kedepan. Sebut saja PDIP dan
Demokrat, yang notabene adalah sebuah partai yang mengutamakan simbolisme. PDIP
telah mampu melakukan perubahan secara budaya kepartaian, dimana sebagai simbol
politik PDIP, bersedia untuk tidak maju lagi dalam pertarungan Pilpres 2014 dan
dengan sukarela mempercayakan kepada Jokowi, tak pelak dukungan kepada Jokowi
dan PDIP pun semakin membaik, dan kepercayaan public terhadap partai ini
menjadi semakin baik. Inilah yang saya sebut sebagai keberanian bertransformasi
untuk menuju pembaharuan partai.
Pertarungan kubu Abu
Rizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono ini nampaknya belum juga menemui
jalannya, dan justru semakin meruncing kepada perpecahan. Pasca sidang Mahkamah
Partai Golkar yang dipimpin oleh senior golkar Prof Muladi, ditambah lagi
dengan adanya surat keputusan dari Menkum-Ham belum juga mampu menghentikan
pertarungan kedua belah kubu, dan justru membuat kubu Ical semakin meradang,
dan membuat upaya benturan politik semakin meluas.
Pasca munculnya surat
keputusan dari Menkum Ham kubu Ical tidak berdiam diri, dengan sigap dan gerak
cepat mengumpulkan DPD I dan II yang diklaim oleh pihaknya dihadiri sekitar 400
orang yang bertajuk rapat konsultasi nasional. Pada situasi yang lain juga
pertarungan antara kedua kubu semakin panas, sebagaimana wawancara langsung di
salah satu stasiun tv kubu Ical yang diwakili oleh Ali Muchtar Ngabalin dan
KubuAgung yang diwakili oleh Yoris Raweyai. Dalam wawancara tersebut mereka
saling tuding bahwa munas mereka lah yang paling sah, dan munas lainnya
“abal-abal”, dan kemudian dari wawancara itu berbuntut panjang sampai terjadi
pemukulan oleh orang yang tidak dikenal kepada Ali Muchtar Ngabalin saat
menghadiri gelar pertemuan di hotel Sahid.
Konsolidasi yang digelar
oleh kubu Ical menyepakati bahwa pihak Ical akan mengajukan gugatan ke
pengadilan Jakarta Barat tentang keabsahan dualisme kepengurusan ini. Pada
situasi yang lain, pihak koalisi KMP yang diwakili oleh Akbar Tanjung dan Amien
Rais pun turun gunung untuk menyampaikan kekecewaannya kepada pemerintah
(menkum Ham) diberbagai media. Mereka menandaskan bahwa pemerintah sesegera
mungkin menghentikan intervensinya kepada Partai Politik yang tengah berkemelut
(Golkar dan PPP), dan memberikan kekeluasaan kepada Partai Politik untuk
menyelesaikan kemelutnya. Selain langkah upaya hukum yang ditempuh, mereka juga
menempuh jalur politik dengan mengelindingkan isu akan mengajukan hak angket
via komisi III untuk menyelidiki keputusan menkum Ham mengenai pengesahan
kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono.
Jika kubu Ical sibuk
untuk melakukan counter atas keputusan yang disampaikan oleh MenkumHam, maka
hal berkebalikan dilakukan oleh kubu Agung Laksono. Karena merasa telah
mendapatkan pengakuan secara yuridis atas kepengurusannya di Golkar dari
MenkumHam, mereka langsung mengelar berbagai pertemuan, baik untuk melakukan
konsolidasi maupun safari politik untuk mendapatkan legitimasi dari pihak
eksternal. Langkah Agung Laksono konsolidasi dilakukan untuk kembali menata
ulang dan melakukan restrukturisasi organisasi baik di level DPD I dan DPD II,
hingga tidak segan-segan melakukan pengantian kepengurusan yang dianggap tidak
berpihak dengan kepengurusan Agung Laksono. Untuk membangun legitimasi publik
atas keabsahan kepengurusannya, pihak agung laksono langsung melakukan safari
politik ke Nasdem sekaligus menegaskan bahwa Golkar akan segera merapat ke KIH.
Apa yang akan terjadi di kemudian hari JIka Terus Konflik?
Konflik politik yang
tidak kunjung selesai ini sejatinya telah menggerus banyak tenaga, baik di
internal partai Golkar maupun masyarakat. Rasanya susah sekali untuk move on
dan segera fokus untuk membangun bangsa. Bukan tidak mungkin akan terjadi
perpecahan dalam tubuh Golkar jika terjadi secara berlarut-larut dan bisa saja
Golkar akan tertinggal momentum penting Pilkada langsung. Keberadaan Golkar di
daerah yang masih kuat dan perpecahan yang terjadi di tingkat kepengurusan DPP
akan mengobrak-abrik soliditas partai di level daerah. Sudah barang tentu jika hal
ini terjadi maka Golkar akan tidak dapat apa-apa dalam level pertarungan di
Daerah.
Pada level Nasional pun
saya kira akan terjadi hal yang sama, perpecahan kepengurusan ini akan
berdampak pada soliditas fraksi golkar di senayan, dengan demikian Golkar akan
kembali gigit jari karena tidak akan mendapatkan apa-apa dari pertarungan ini.
Justru yang akan di untungkan adalah partai-partai seperti hal nya Demokrat,
Nasdem, Gerindra, dan lain-lainnya. Selain itu, dari upaya memperoleh
kemenangan dari pertarungan ini akan membuat konsentrasi dan fokus partai
Golkar dalam capaian target partai dalam berbagai pemilu baik Pilkada maupun
nasional akan terjadi penurunan secara drastis, hal ini dikarenakan energi
mereka telah habis terkuras dalam pertarungan internal, juga akan kesulitan
untuk mengkonsolidasi perpecahan di daerah. Dengan demikian dapat diyakini
bahwa perolehan suara partai golkar akan anjlok sebagaimana nasib yang dialami
partai Demokrat pada pemilu yang lalu, dan akan ditinggalkan oleh konstituennya
pada saat mendatang.
Sebagai partai yang
besar dan telah kenyang bermain dalam pangung politik, seharusnya mereka
sesegera mungkin bisa keluar dari kemelut ini. Berlarut-larutnya konflik ini
tidak akan membawa keuntungan bagi partai, namun hanya memuaskan hasrat politik
sebagian orang saja dalam upayanya membangun dan mempertahankan kekuasaan.
Capain partai golkar yang pasca reformasi hingga kini tetap dinobatkan sebagai
partai terbesar diantara PDIP dan lainnya, seharusnya disadari sebagai sebuah
kepercayaan masyarakat yang harus tetap dijaga dengan baik. Bukan justru
berkonflik untuk berebut kekuasaan didalam, yang justru akan membawa dampak
kerugian bagi partai sendiri.
Setiap partai memiliki
siklusnya masing-masing, adakalanya berada dibawah dan mengalami puncak
kejayaannya. Untuk menjaga ritme dan grafik prestasi, sudah seharusnya partai
melakukan trobosan-trobosan yang baik dan terstruktur untuk menyesuaikan dengan
kepentingan dan perubahan zaman. System kepartaian di Indonesia menuntut adanya
sebuah perubahan yang lebih modern jika tidak ingin ditinggalkan oleh
konstituennya. Sudah bukan jamannya lagi bermain aman dan pragmatis, untuk
sekedar mencari hidup saja dalam pemerintahan. Namun partai harus mampu
mengambil peran penting dalam keterlibatannya dalam pembangunan bangsa, baik
itu berada dalam lingkaran kekuasaan maupun diluar ring kekuasaan.
Dengan demikian, kita
semua berharap, tidak hanya bagi partai golkar, namun juga PPP yang kini sedang
didera perpecahan. Jadikan perpecahan ini sebagai sarana untuk pengambilan sikap
terbaik, dan dalam rangka membela kepentingan bangsa dan negara. Bukan berada
pada posisi berebut kekuasaan untuk kepentingan sesaat saja serta pragmatisme
politik sesaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar