Minggu, 07 Juni 2015

KEMELUT GOLKAR


Perpecahan dalam tubuh partai bak penyakit menular yang susah dihalau, pasca perpecahan di tubuh partai persatuan pembangunan (PPP), kini perpecahan pun mendera dalam tubuh partai golkar. Kasus terbelahnya kedua partai ini embrionya sama yakni koalisi KMP dan KIH.
Partai golkar yang sejatinya memiliki pengalaman yang mumpuni dalam berpolitik, ketika pasca gelaran pemilu dan pilpres biasanya selalu solid dan merapatkan barisan kembali, namun kini berbeda keadaan. Proses pilpres telah usai namun perpecahan di partai ini justru baru dimulai. Golkar yang memang piawai dalam bermain politik dua kaki alias pecah pangung, nampaknya kini serasa tak berdaya untuk dipersatukan kembali dalam sebuah tujuan bersama membangun bangsa. Ambisi kekuasaan masing-masing kubu menarik katub bersebrangan dan semakin menjauh. Ya memang katub ini sangat berpengaruh, karena ada banyak kepentingan berada didalamnya. Selain kepentingan kekuasaan apa lagi?
Golkar yang sedari awal spesialis berada pada barisan pemerintahan, kini nampaknya telah memilih jalannya sendiri. Golkar lebih nyaman menjadi partai oposisi merapatkan barisan bersama koalisi merah putih (KMP) yang dihuni oleh Gerindra, PKS, PAN. Pilihan pahit bagi golkar ini tidak serta merta membuat politisi golkar menjadi solid, namun sebaliknya justru menjadi terbelah, karena kubu satunya lagi melangengkan tradisi berada didalam pemerintah.
Pada titik ini, saya sebetulnya bangga terhadap partai golkar yang telah berani berada diluar pemerintahan untuk menjadi penyeimbang. Sebagai partai yang besar, memang seharusnya sekali-kali merasakan situasi diluar kekuasaan, dan dalam lima tahun kedepan berada dalam garda terdepan melakukan control terhadap kinerja pemerintah. Pilihan untuk berada diluar kekuasaan ini sejatinya jika kita pahami sebagai dinamika politik sebetulnya baik bagi masa depan golkar. Setidaknya golkar tidak kembali di cap sebagai pragmatisme politik semata. Dan bahkan, jika golkar mampu konsisten berada diluar kekuasaan, dan bermain sebagai oposisi secara baik, bukan tidak mungkin tingkat elektabilitas partai ini akan semakin membaik pada masa yang akan datang.
Cap orde baru yang selalu melekat dalam tubuh partai golkar akan menjadi semakin pudar, dan golkar harusnya mampu melakukan transformasi politik demi sebuah masa depan bangsa yang baik, dan maju. Pilihan untuk berada diluar kekuasaan dan menjadi partai penyeimbang, harusnya menjadi jalan untuk melakukan transformasi keorganisasian sekaligus re-branding partai untuk mendapatkan kepercayaan publik kembali.
Jika saya amati, ada dua trobosan yang menarik yang dilakukan oleh partai golkar semenjak reformasi. Pertama, ketika tahun 2004 pilpres dilaksanakan, partai golkar mengagas adanya konvensi secara terbuka, yang digagas oleh akbar tanjung untuk menjaring calon presiden, dan kedua, adalah tahun ini yang telah memastikan jalannya untuk memastikan diri untuk berada diluar kekuasaan atau menjadi oposisi.
Dibalik sebuah konflik yang terjadi, saya berkeyakinan akan muncul sebuah pembaharuan yang pastinya akan membuat sebuah organisasi menjadi lebih baik kedepan. Sebut saja PDIP dan Demokrat, yang notabene adalah sebuah partai yang mengutamakan simbolisme. PDIP telah mampu melakukan perubahan secara budaya kepartaian, dimana sebagai simbol politik PDIP, bersedia untuk tidak maju lagi dalam pertarungan Pilpres 2014 dan dengan sukarela mempercayakan kepada Jokowi, tak pelak dukungan kepada Jokowi dan PDIP pun semakin membaik, dan kepercayaan public terhadap partai ini menjadi semakin baik. Inilah yang saya sebut sebagai keberanian bertransformasi untuk menuju pembaharuan partai.
Pertarungan kubu Abu Rizal Bakrie (Ical) dan Agung Laksono ini nampaknya belum juga menemui jalannya, dan justru semakin meruncing kepada perpecahan. Pasca sidang Mahkamah Partai Golkar yang dipimpin oleh senior golkar Prof Muladi, ditambah lagi dengan adanya surat keputusan dari Menkum-Ham belum juga mampu menghentikan pertarungan kedua belah kubu, dan justru membuat kubu Ical semakin meradang, dan membuat upaya benturan politik semakin meluas.
Pasca munculnya surat keputusan dari Menkum Ham kubu Ical tidak berdiam diri, dengan sigap dan gerak cepat mengumpulkan DPD I dan II yang diklaim oleh pihaknya dihadiri sekitar 400 orang yang bertajuk rapat konsultasi nasional. Pada situasi yang lain juga pertarungan antara kedua kubu semakin panas, sebagaimana wawancara langsung di salah satu stasiun tv kubu Ical yang diwakili oleh Ali Muchtar Ngabalin dan KubuAgung yang diwakili oleh Yoris Raweyai. Dalam wawancara tersebut mereka saling tuding bahwa munas mereka lah yang paling sah, dan munas lainnya “abal-abal”, dan kemudian dari wawancara itu berbuntut panjang sampai terjadi pemukulan oleh orang yang tidak dikenal kepada Ali Muchtar Ngabalin saat menghadiri gelar pertemuan di hotel Sahid.
Konsolidasi yang digelar oleh kubu Ical menyepakati bahwa pihak Ical akan mengajukan gugatan ke pengadilan Jakarta Barat tentang keabsahan dualisme kepengurusan ini. Pada situasi yang lain, pihak koalisi KMP yang diwakili oleh Akbar Tanjung dan Amien Rais pun turun gunung untuk menyampaikan kekecewaannya kepada pemerintah (menkum Ham) diberbagai media. Mereka menandaskan bahwa pemerintah sesegera mungkin menghentikan intervensinya kepada Partai Politik yang tengah berkemelut (Golkar dan PPP), dan memberikan kekeluasaan kepada Partai Politik untuk menyelesaikan kemelutnya. Selain langkah upaya hukum yang ditempuh, mereka juga menempuh jalur politik dengan mengelindingkan isu akan mengajukan hak angket via komisi III untuk menyelidiki keputusan menkum Ham mengenai pengesahan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono.
Jika kubu Ical sibuk untuk melakukan counter atas keputusan yang disampaikan oleh MenkumHam, maka hal berkebalikan dilakukan oleh kubu Agung Laksono. Karena merasa telah mendapatkan pengakuan secara yuridis atas kepengurusannya di Golkar dari MenkumHam, mereka langsung mengelar berbagai pertemuan, baik untuk melakukan konsolidasi maupun safari politik untuk mendapatkan legitimasi dari pihak eksternal. Langkah Agung Laksono konsolidasi dilakukan untuk kembali menata ulang dan melakukan restrukturisasi organisasi baik di level DPD I dan DPD II, hingga tidak segan-segan melakukan pengantian kepengurusan yang dianggap tidak berpihak dengan kepengurusan Agung Laksono. Untuk membangun legitimasi publik atas keabsahan kepengurusannya, pihak agung laksono langsung melakukan safari politik ke Nasdem sekaligus menegaskan bahwa Golkar akan segera merapat ke KIH.

Apa yang akan terjadi di kemudian hari JIka Terus Konflik?

Konflik politik yang tidak kunjung selesai ini sejatinya telah menggerus banyak tenaga, baik di internal partai Golkar maupun masyarakat. Rasanya susah sekali untuk move on dan segera fokus untuk membangun bangsa. Bukan tidak mungkin akan terjadi perpecahan dalam tubuh Golkar jika terjadi secara berlarut-larut dan bisa saja Golkar akan tertinggal momentum penting Pilkada langsung. Keberadaan Golkar di daerah yang masih kuat dan perpecahan yang terjadi di tingkat kepengurusan DPP akan mengobrak-abrik soliditas partai di level daerah. Sudah barang tentu jika hal ini terjadi maka Golkar akan tidak dapat apa-apa dalam level pertarungan di Daerah.
Pada level Nasional pun saya kira akan terjadi hal yang sama, perpecahan kepengurusan ini akan berdampak pada soliditas fraksi golkar di senayan, dengan demikian Golkar akan kembali gigit jari karena tidak akan mendapatkan apa-apa dari pertarungan ini. Justru yang akan di untungkan adalah partai-partai seperti hal nya Demokrat, Nasdem, Gerindra, dan lain-lainnya. Selain itu, dari upaya memperoleh kemenangan dari pertarungan ini akan membuat konsentrasi dan fokus partai Golkar dalam capaian target partai dalam berbagai pemilu baik Pilkada maupun nasional akan terjadi penurunan secara drastis, hal ini dikarenakan energi mereka telah habis terkuras dalam pertarungan internal, juga akan kesulitan untuk mengkonsolidasi perpecahan di daerah. Dengan demikian dapat diyakini bahwa perolehan suara partai golkar akan anjlok sebagaimana nasib yang dialami partai Demokrat pada pemilu yang lalu, dan akan ditinggalkan oleh konstituennya pada saat mendatang.
Sebagai partai yang besar dan telah kenyang bermain dalam pangung politik, seharusnya mereka sesegera mungkin bisa keluar dari kemelut ini. Berlarut-larutnya konflik ini tidak akan membawa keuntungan bagi partai, namun hanya memuaskan hasrat politik sebagian orang saja dalam upayanya membangun dan mempertahankan kekuasaan. Capain partai golkar yang pasca reformasi hingga kini tetap dinobatkan sebagai partai terbesar diantara PDIP dan lainnya, seharusnya disadari sebagai sebuah kepercayaan masyarakat yang harus tetap dijaga dengan baik. Bukan justru berkonflik untuk berebut kekuasaan didalam, yang justru akan membawa dampak kerugian bagi partai sendiri.
Setiap partai memiliki siklusnya masing-masing, adakalanya berada dibawah dan mengalami puncak kejayaannya. Untuk menjaga ritme dan grafik prestasi, sudah seharusnya partai melakukan trobosan-trobosan yang baik dan terstruktur untuk menyesuaikan dengan kepentingan dan perubahan zaman. System kepartaian di Indonesia menuntut adanya sebuah perubahan yang lebih modern jika tidak ingin ditinggalkan oleh konstituennya. Sudah bukan jamannya lagi bermain aman dan pragmatis, untuk sekedar mencari hidup saja dalam pemerintahan. Namun partai harus mampu mengambil peran penting dalam keterlibatannya dalam pembangunan bangsa, baik itu berada dalam lingkaran kekuasaan maupun diluar ring kekuasaan.
Dengan demikian, kita semua berharap, tidak hanya bagi partai golkar, namun juga PPP yang kini sedang didera perpecahan. Jadikan perpecahan ini sebagai sarana untuk pengambilan sikap terbaik, dan dalam rangka membela kepentingan bangsa dan negara. Bukan berada pada posisi berebut kekuasaan untuk kepentingan sesaat saja serta pragmatisme politik sesaat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar